Kelima Belas

Kelima Belas : Diantara faktor mantapnya ahlus sunnah
di atas keyakinan yang benar adalah : mereka
senantiasa bersatu padu dan tidak berpecah belah.
Adapun ahli ahwâ`, mereka telah memecah belah agama
mereka dan mereka bergolong-golongan. Setiap
kelompok merasa bangga dengan apa yang mereka
miliki.
Qotâdah berkata :
” لو كان أمر الخوارج هدى لاجتمع، ولكنه كان ضلالاً فتفرق ” تفسير الطبري
،.(178/3)
”Sekiranya khowarij itu berada di atas petunjuk niscaya
mereka akan bersatu, namun mereka berada di atas
kesesatan sehingga mereka saling berpecah belah.”
(Tafsîr ath-Thobarî III/178).
Hal yang seperti ini tidaklah sedikit terjadi pada ahli
bid’ah. Adapun ahlus sunnah, mereka saling bersatu
padu dan berhimpun, tidak ada pada mereka perpecahan ataupun perselisihan di dalam agama Allôh. Mereka
beada di atas jalan yang lurus, saling berjanji, berwasiat
dan bersabar di atasnya.
Abūl Muzhoffar as-Sam’ânî berkata :
” ومما يدل على أن أهل الحديث على الحق أنك لو طالعت جميع كتبهم
المصنفة من أولها إلى آخرها، قديمها وحديثها، وجدا مع اختلاف بلدام
وزمام وتباعد ما بينهم في الديار، وسكون كل واحد منهم قطراً من
الأقطار، في بيان الاعتقاد على وتيرة واحدة ونمط واحد، يجرون فيه على
طريقة لا يحيدون عنها ولا يميلون عنها، قلوم في ذلك على قلب واحد،
ونقلهم لا ترى فيه اختلافاً ولا تفرقاً في شيء ما وإن قل، بل لو جمعت جميع
ما جرى على ألسنتهم ونقلوه عن سلفهم وجدته كأنه جاء عن قلب واحد
وجرى على لسان واحد، وهل على الحق دليل أبين من هذا؟ قال الله تعالى:
”Diantara hal yang menunjukkan bahwa ahli hadits itu
berada di atas kebenaran adalah, sekiranya anda
menelaah semua kitab-kitab mereka yang tertulis baik
dari awal sampai akhir, baik yang terdahulu maupun
yang kontemporer, walaupun negeri dan zaman mereka
berbeda dan saling berjauhan, dan tempat tinggal setiap
orang dari mereka tersebar di seluruh penjuru dunia,
anda dapati bahwa mereka di dalam menjelaskan
masalah aqidah berada pada satu manhaj dan jalan.
Mereka berjalan di atas jalan ini, tidak menyimpang dan berpaling darinya. Hati mereka satu di dalam keyakinan
tersebut, dan tidak anda dapati perselisihan dan
perpecahan sedikitpun di dalam transmisi (penukilan)
mereka kecuali hanya sedikit sekali. Bahkan, sekiranya
anda mengumpulkan semua yang mereka ucapkan dan
yang mereka nukil dari pendahulu (salaf) mereka, anda
dapati seakan-akan berasal dari hati dan lisan yang satu.
Apakah benar ada dalil lain yang lebih terang daripada
ini? Allôh Ta’âlâ berfirman :
﴿َأفَلاَ يتدب  رونَ الُْقرآنَ ولَو كَانَ من عند غَيرِ الّله لَوج  دواْ فيه اختلاَفاً
،[ كَثيرًا﴾ [النساء: 82
”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`ân?
kalau kiranya Al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allôh,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.” (QS an-Nisâ` : 82)
Dan firman-Nya :
وقال تعالى: ﴿واعتص  مواْ ِبحبلِ الّله جميعاً ولاَ تفَ  رُقواْ واذْ ُ ك  رواْ نِعمت الّله
علَيكُم ِإذْ ُ كنتم أَعداء فَأَلَّف بين ُقُلوبِكُم فَأَصبحتم بِنِعمته إِخواناً﴾ [آل
.( عمران: 103 ] ” مختصر الصواعق المرسلة لابن القيم (ص: 518
”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah
akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena
nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS Âli ’Imrân : 103) [Mukhtashor ash-Showâ`iqul Mursalah
karya Ibnul Qoyyim hal. 518)
Hal ini juga merupakan diantara faktor-faktor besar yang
dapat menghantarkan ahlus sunnah mantap di atas
kebenaran dan konsisten di atas aqidah yang benar serta
selamat dari penyimpangan, keplinplanan dan
perubahan.
Inilah poin terakhir yang hendak kupaparkan
penjelasannya, akan tetapi saya cukupkan sampai di sini
dan akan saya jelaskan sebagian aspek lain dari aqidah
yang menjelaskan persatuan ahlus sunnah wal jamâ’ah
di atas aqidah dan jalan mereka yang satu, dari orang
pertama hingga orang terakhir mereka, apabila anda
perhatikan pendapat-pendapat mereka di zaman ini dan
pendapat mereka di zaman awal, yaitu zaman Nabî
Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, anda dapati bahwa mereka
berada di atas perkara yang satu, karena mereka
mengambilnya dari sumber yang satu pula.
Imâm Mâlik rahimahullâhu berkata :
فلن يكون اليوم ديناً، ولن يكون ديناً إلى قيام  ” ما لم يكن ديناً زمن النبي
الساعة، ولن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح ا أولها “.
”Segala sesuatu yang pada zaman nabi tidak termasuk
agama, maka tidak akan termasuk agama pula pada hari
ini dan tidak pula termasuk agama hingga hari kiamat.
Tidak akan baik keadaan akhir umat ini melainkan
dengan baiknya umat generasi awal.”

Apabila anda memperhatikan aqidah mereka di zaman ini
juga di zaman-zaman sebelumnya, anda dapati mereka
berada di atas aqidah yang satu. Akan saya berikan
beberapa contoh hal ini :
Contoh 1 : Apabila anda mencermati aspek tauhîd dan
ikhlâsh, yaitu mengikhlaskan (memurnikan) amal hanya
untuk Allôh Ta’âlâ semata, anda dapati bahwa mereka
dari generasi awal sampai akhir adalah para penyeru
tauhîd, semuanya menyeru kepada pemurnian perbuatan
hanya bagi Allôh semata dan semuanya memperingatkan
dari kesyirikan dan segala bentuk peribadatan selain
kepada Allôh. Tidak akan anda dapati ada diantara
mereka yang mengajak kepada kesyirikan atau
menyelisihi tauhîd, sebagaimana yang dilakukan oleh
mayoritas ahli ahwâ`, yang menyeru kepada berbagai
pentuk penyimpangan ini dan memberikan nama dengan
selain namanya. Mereka menamakan berbagai macam
kesyirikan dengan tawassul atau syafâ’at atau selainnya.
Contoh 2 : Mereka semua bersepakat untuk mendorong
berpegang kepada sunnah dan melarang dari segala
bentuk bid’ah dan hawa nafsu. Anda tidak akan melihat
seorangpun dari mereka melainkan menyeru kepada
sunnah dan memperngatkan dari bid’ah. Anda tidak akan
dapati ada diantara mereka yang menganggap baik hawa
nafsunya dan mendorong kepada bid’ah, atau ada orang
yang menjelaskan bahwa ada suatu bid’ah yang baik
(hasanah), atau yang semisalnya. Hal ini tidak akan
pernah ditemukan pada ahlis sunnah. Karena seluruh
ahlus sunnah dari generasi awal sampai akhir mereka memperingatkan dari bid’ah dan hawa nafsu, dan
menyeru manusia untuk berpegang teguh dengan
Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa
Sallam.
Contoh 3 : Keimana mereka kepada Asmâ dan Shifât
Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Anda dapati bahwa mereka
dari generasi pertama hingga akhir berada di atas
manhaj yang satu, menetapkan nama dan sifat bagi
Allôh sebagaimana apa yang Ia tetapkan bagi diri-Nya
dan apa yang ditetapkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu
’alaihi wa Sallam untuk diri-Nya. Mereka menafikan
(menolak) segala apa yang Allôh dan Rasūl-Nya
Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam nafikan bagi diri-Nya,
berupa kekurangan dan sifat cela, tanpa melakukan
tahrîf (merubah makna), ta’thîl (meniadakan), takyîf
(mempertanyakan kaifiyatnya) dan tamtsîl
(menyerupakan dengan makhlūq). Kaidah mereka di
dalam hal ini adalah sebagaimana yang Allôh beritakan :
[ ﴿َليس كَمثْله شيءٌ و  هو ال  سمي  ع البص  ير﴾ [الشورى: 11
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan Ia
adalah Maha Mendengar lagi Melihat.” (asy-Syūrâ : 11).
Mereka semua di dalam pembahasan ini berada di atas
manhaj yang satu.
Adapun selain mereka, anda dapati mereka melakukan
tahrîf, ta’thîl, takyîf dan tamtsîl atau selainnya dari
metode-metode yang beraneka ragam yang dimiliki oleh
setiap madzhab dari madzhab-madzhab (yang
menyimpang) ini.

Contoh 4 : Manhaj mereka yang satu di dalam metode
ber-istidlâl (menggali dalil). Hal ini telah lalu
penjelasannya. Intinya, metode mereka di dalam istidlâl
adalah satu dan sandaran mereka juga satu, yaitu
Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa
Sallam.
Sebagai penutup risalah ini, saya memohon kepada Allôh
Tabâroka wa Ta’âlâ dengan nama-nama-Nya yang indah
dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar mejadikanku dan
anda sekalian sebagai hamba-hamba-Nya yang shâlih,
menkaruniakan kita semua untuk senantiasa berpegang
teguh dengan sunnah dan meneladani atsar salaful
ummah, menjauhkan kita dari hawa nafsu dan bid’ah,
menganugerahkan kita aqidah yang benar, iman yang
selamat, perangai yang lurus dan adab serta akhlaq yang
baik, memberikan kita semua taufiq-Nya, memberikan
petunjuk kepada kita semua kepada jalan yang lurus dan
menjadikan kita termasuk orang yang memberikan
petunjuk dan diberi petunjuk, orang yang mendengarkan
suatu ucapan dan mengikuti yang terbaik darinya,
karena sesungguhnya Allôh adalah berkuasa dan mampu
untuk melakukan hal ini.
<‰e^vë_Ê<‰÷a<Ó◊¬Ê<HÇ€¶<‰ÈffiÊ<‰÷ÁâÖÊ<ÂÇf¬<Ó◊¬<‹√fi_Ê<’Ö^eÊ<‹◊âÊ<!]<Ó◊ëÊ
J∞√∂_
Semoga Sholawât, Salam, keberkahan dan kenikmatan
Allôh senantiasa terlimpahkan kepada utusan dan hamba-Nya Muhammad, kepada keluarga dan seluruh
sahabat beliau.
[Risalah ini asalnya merupakan ceramah yang saya sampaikan
pada tanggal 7/3/1420 H, kemudian ditranskrip dari kaset dan
dilakukan beberapa pembenahan ringan dan saya biarkan
dalam ushlub (gaya) ceramah. Hanya Allôh sematalah yang
maha memberikan taufiq.]

Keempat Belas

Keempat Belas : Diantara (penyebab) mantapnya
aqidah ahlus sunnah dan selamatnya dari penyimpangan
adalah, mereka mau mengambil ibrah dan pelajaran dari
keadaan ahli hawa terdahulu. Dikatakan di dalam sebuah
pepatah, ”Seorang yang berbahagia itu adalah orang
yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain”. Ahli
hawa yang meninggalkan Kitâbullâh dan Sunnah,
menyebabkan mereka menjadi plin plan, menyimpang,
labil (berubah-ubah) dan goyah, serta jauh dari
kemantapan dan kekokohan. Tidak pernah anda dapati
ada seorang ahli hawa yang mantap dan kokoh sikapnya,
karena mereka ini terus menerus dan selamanya dalam
keadaan labil. Saya nukilkan di sini keterangan dari para
ulama tentang pensifatan keadaan ahli ahwâ`:
Syaikhul Islâm berkata :
” أهل الكلام أكث ر الناس انتقالاً من قول إلى قول، وجزماً بالقول في موضع،
وجزماً بنقيضه وتكفير قائله في موضع آخر، وهذا دلي ُ ل عدم اليقين، فإن

الإيمان كما قال فيه قيصر لما سأل أبا سفيان عمن أسلم مع النبي
يرجع أح  د منهم عن دينه سخطة له بعد أن يدخل فيه؟ قال: لا، قال:
وكذلك الإيمان إذا خالط بشاشته القلوب لا يسخطه أح  د ” مجموع الفتاوى
.(50/4)
Ahli kalam adalah manusia yang paling sering berubahubah
(labil) pendapatnya dari pendapat yang satu ke
pendapat yang lain. Mereka menetapkan suatu pendapat
di suatu tempat, namun di tempat lain mereka
membantahnya dan mengkafirkan orang yang
berpendapat dengannya. Ini merupakan dalil bahwa
mereka tidak memiliki keyakinan, karena sesungguhnya
iman itu sebagaimana yang dikatakan oleh Kaisar
(Heraklius) ketika bertanya kepada Abū Sufyân tentang
siapa saja yang turut masuk Islâm bersama nabi
Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, ia berkata : ”Adakah
seorang diantara mereka yang kembali dari agamanya
disebabkan karena ia murka kepadanya setelah ia masuk
ke dalamnya?” Abū Sufyân menjawab, ”Tidak”. Kaisar
berkata, ”Demikianlah keimanan itu, apabila telah
merasuk ke dalam sanubari hati seseorang, tidak ada
seorangpun yang murka padanya.” (Majmū’ Fatâwâ
IV/50).
Di dalam kisah di atas terhadap ibrah dan pelajaran
tentang keadaan ahli ahwâ` bahwa mereka tidak
memiliki kemantapan dan keajegan, namun mereka
senantiasa berada di dalam kelabilan dan kegoncangan.

Termasuk sifat yang dijelaskan oleh para ulama tentang
keadaan ahli ahwâ` adalah, ucapan Abū Muzhoffar as-
Sam’ânî yang dinukil olehh at-Taimî dan Ibnul Qoyyim,
beliau berkata :
” وأما إذا نظرت إلى أهل البدع رأيتهم متفرقين مختلفين، شيعاً وأحزاباً، لا
تكاد تجد اثنين منهم على طريقة واحدة في الاعتقاد، يبد  ع بعضهم بعضاً، بل
يرتقون إلى التكفير، يكفر الابن أباه، والأخ أخاه، والجار جاره، وتراهم أبداً
في تنازع وتباغض واختلاف، وتنقضي أعمارهم ولم تتفق كلمام ” مختصر
.( الصواعق المرسلة لابن القيم (ص: 518
”Apabila anda memperhatikan keadaan ahli ahwâ`, anda
dapati mereka ini dalam keadaan berpecah belah dan
berselisih, bergolong-golongan dan berpartai. Tidak
mungkin anda temukan ada dua orang diantara mereka
yang berada di atas satu manhaj di dalam masalah
aqidah, mereka saling membid’ahkan satu dengan
lainnya. Bahkan mereka sampai jatuh kepada
pengkafiran, seorang anak sampai mengkafirkan
ayahnya, seorang mengkafirkan saudaranya dan
tetangganya. Anda lihat mereka senantiasa dalam
keadaan saling bertikai, membenci dan berselisih. Habis
umur mereka namun mereka tidak pernah bersatu.”
(Mukhtashor ash-Showâ`iq al-Mursalah karya Ibnul
Qoyyim hal. 518).
Syaikhul Islâm berkata menjelaskan sifat ahli ahwâ`:

” وأيضاً المخالفون لأهل الحديث، هم مظنُة فساد الأعمال، إما عن سوء
عقيدة ونفاق، وإما عن مرض في القلب وضعف إيمان، ففيهم من ترك
الواجب، واعتداء الحدود، والاستخفاف بالحقوق وقسوة القلوب ما هو ظاهر
لكل أحد، وعامة شيوخهم يرمون بالعظائم، وإن كان فيهم من هو معروف
بزهد وعبادة، ففي زهد بعض العامة من أهل السنة وعبادته ما هو أرجح مما
هو فيه، ومن المعلوم أن العلم أص ُ ل العمل، وصحة الأصول توج  ب صحة
(53/ الفروع ” مجموع الفتاوى ( 4
”Mereka juga senantiasa menyelisihi ahli hadits, mereka
adalah tempatnya kerusakan amal, bisa jadi berasal dari
aqidah yang jelek dan nifaq, dan bisa jadi pula dari hati
yang sakit dan iman yang lemah. Diantara mereka ada
yang meninggalkan perkara wajib, melanggar batas,
meremehkan hak dan hati yang kesat, yang tampak
pada setiap orang dari mereka. Secara umum guru-guru
mereka gemar melakukan dosa besar, walaupun ada
diantara mereka yang dikenal dengan kezuhudan dan
ibadahnya. Sesungguhnya, zuhud dan ibadahnya orang
awam ahlus sunnah lebih baik daripada mereka. Suatu
hal yang telah diketahui bersama, bahwa ilmu itu adalah
pondasinya amal, dan benarnya suatu pondasi
mengharuskan benarnya furu’ (cabang amal). (Majmū’
Fatâwâ IV/53)
Ibrâhîm an-Nakho’î berkata :

“كانوا يرون التلون في الدين من شك القلوب في الله عز وجل” الإبانة لابن بطة
.(505/2)
”Para salaf memandang bahwa bersikap plin plan di
dalam agama merupakan keraguan hati terhadap Allôh
Azza wa Jalla.” (al-Ibânah karya Ibnu Baththoh II/502)
Mâlik bin Anas berkata :
” الداءُ العضال، التنقل في الدين “، وقال: ” قال رجل: ما كنت لاعباً به، فلا
.(506/ تلعبن بدينك ” الإبانة ( 2
”Penyakit yang paling mematikan adalah, sikap labil di
dalam agama.” Beliau berkata, ”Seorang pria berkata :
Aku tidak pernah bermain-main dengan agama maka
janganlah kamu sekali-kali bermain-main dengan
agamamu.” (al-Ibânah II/506)
فمن ينظر إلى حال أهل الأهواء يج  د أن حالهم في حقيقة الأمر لع  ب بالدين،
تنقلٌ، آراءٌ، عقليا  ت، أفكار، أشياء من هذا القبيل متنوعة ومختلفة، لا ثبات
لهم ولا قرار، حتى إن أحد أهل السنة جاء إلى أحد كبار رؤوس علماء الكلام
في حيرة وشك واضطراب، فسأله: ماذا تعتقد؟ قال: أعتق  د ما يعتقده
فقال له: وأنت –  المسلمون – أي مما جاء في كتاب الله وسنة رسوله
مطمئ  ن بذلك ومنشرح الصدر؟ قال: نعم، قال: أما أنا فوالله ما أدري ما

أعتقد؟ والله ما أدري ما أعتقد؟ والله ما أدري ما أعتقد؟ وبكى حتى أخضل
.( لحيته انظر: شرح العقيدة الطحاوية (ص: 246
Barangsiapa memperhatikan keadaan ahli ahwâ`,
niscaya ia akan mendapati bahwa realita keadaan
mereka adalah sedang bermain-main dengan agama dan
labil (berubah-ubah pendirian). Pendapat, akal,
pemikiran dan bentuk kelompok ini bermacam-macam
dan berbeda-beda, tidak pernah mantap dan ajeg.
Sampai-sampai ada seorang lelaki dari ahlis sunnah
datang kepada salah satu pembesar ulama ahli kalâm
yang sedang dirundung kebimbangan, keraguan dan
kegoncangan. Ahli Kalâm itu bertanya (kepada ahlus
sunnah tadi) : ”Apa yang anda yakini?”, pria itu
menjawab, ”saya meyakini apa yang diyakini oleh kaum
muslimin, yaitu yang datang dari Kitâbullâh dan Sunnah
Rasūl-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.” Ahli Kalâm itu
bertanya kembali, ”Apakah anda merasa mantap dengan
keyakinan itu dan berlapang dada?”, pria itu menjawab,
”Iya”. Kemudian ulama ahli kalâm itu berkata, ”Adapun
saya, demi Allôh saya tidak tahu apa yang saya yakini?
demi Allôh saya tidak tahu apa yang saya yakini? demi
Allôh saya tidak tahu apa yang saya yakini?” sembari
menangis tersedu-sedu hingga basah jenggotnya. (Lihat
Syarhul Aqîdah ath-Thohâwiyah hal. 246).
Hal ini disebabkan karena urusan mereka adalah
berdebat, berdiskusi dan sebagainya. Siapa saja yang
memperhatikan keadaan ahli ahwâ`, ia akan dapat memetik pelajaran dan ibrah dari mereka, sebagaimana
perkataan pepatah sebelumnya,
السعيد من اتعظ بغيره
”Seorang yang berbahagia itu adalah orang yang dapat
mengambil pelajaran dari orang lain”. Ahlus sunnah
dengan segala pujian bagi Allôh adalah berada di atas
sunnah, ia senantiasa meminta kepada Allôh Tabâroka
wa Ta’âlâ supaya memantapkannya di atas sunnah.

Ketiga Belas

Ketiga Belas : Terang, mudah dan jauhnya aqidah ahlus
sunnah dari kerancuan, sedang selain ahlus sunnah,
anda dapati aqidahnya diliputi oleh kerancuan dan
ketidakjelasan, serta dipenuhi oleh syubuhât.
Adapun aqidah ahlus sunnah wal jamâ’ah sangat terang,
seterang matahari di tengah hari bolong, yang mana
terangnya ini diperoleh dari mata air dan sumbernya
yang jelas.
Imâm Ibnul Qoyîm berkata di dalam kitab beliau ash-
Showâ`iq ketika menjelaskan aqidah yang benar ini,
yang terangnya seterang sumbernya :

” مثل ضوء الشمس للبصر، لا يلحق إشكال، ولا يغير في وجه دلالتها إجمال،
ولا يعرضها تجويز واحتمال، تلج الأسماع بلا استئذان، وتحل من العقول محل
الماء الزلال من الصادي الظمآن، فضلها على أدلة العقول والكلام كفضل الله
على الأنام، لا يمكن أح  د أن يقدح فيها قدحاً يوق  ع في اللبس، إلا إن أمكنه
.(1199/ أن يقدح بالظهيرة صحواً في طلوع الشمس ” الصواعق المرسلة ( 3
”Bagaikan cahaya matahari bagi pengelihatan, yang
tidak memiliki penghalang. Yang secara umum tidak
berubah sisi pendalilannya, tidak pula memiliki
kelemahan dan probabilitas, merasuk ke pendengaran
tanpa izin, dan memenuhi akal dengan air yang segar
yang membasahi dahaga orang yang kehausan,
keutamaannya dibandingkan dalil-dalil akal dan kalam
bagaikan keutamaan Allôh dibandingkan makhluk-Nya.
Tidak mungkin ada seorangpun yang bisa mencela
aqidah ini seakan-akan memiliki kerancuan, melainkan
dirinya bagaikan mencela hari yang cerah di tengah
terbitnya matahari.” (ash-Showâ`iqul Mursalah III/1199)
Orang yang ingin mencela aqidah yang shahîh lagi lurus
ini, yang diambil dari Kitâbullâh dan Sunnah,
keadaannya serupa dengan seorang lelaki yang
mendatangi manusia di tengah hari dan berkata kepada
mereka: saya jelaskan kepada kalian bahwa sekarang ini
adalah malam hari bukan siang. Beginilah keadaan orang
yang datang dan ingin membuat keragu-raguan terhadap
kebenaran aqidah yang shahîh lagi lurus ini, yang diambil dari Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya Shallâllâhu ’alaihi
wa Sallam. Keadaannya sebagaimana yang difirmankan
oleh Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ:
﴿فَإِنها لا تعمى الأَبصا  ر ولَ  كن تعمى الُْقُلو  ب الَّتي في ال  ص  دورِ﴾
.[ [الحج: 46
”Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS al-
Hajj : 46)

Kedua Belas

Kedua Belas : Keyakinan kaum salaf bahwa masalah
keimanan kepada Allôh, nama-nama dan sifat-Nya serta hari akhir, juga perkara-perkara aqidah lainnya yang
datang dari para Rasūl yang mereka bersepakat atasnya,
kesemuanya ini adalah perkara yang baku yang tidak
dimasuki naskh (penghapusan hukum) maupun
perubahan dan semisalnya. Karena aqidah itu bukanlah
bidang yang bisa dimasuki an-naskh, oleh karena itulah
para nabi dari yang awal sampai yang akhir bersepakat
di atas aqidah yang sama, sebagaimana dijelaskan di
dalam sebuah hadîts yang shahîh dari Nabî Shallâllâhu
’alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda :
” الأنبياءُ إخوةٌ من علات، وأمهام شتى، ودينهم واحد ” صحيح مسلم
.(1837/4)
”Para Nabi itu bersaudara tiri dan ibu mereka berbedabeda,
namun agama mereka satu.” (Shahîh Muslim
IV/1837).

Kesebelas

Kesebelas : Keyakinan mereka secara totalitas dengan
aqidah ini yang mereka beristiqomah di atasnya serta
jauhnya mereka dari memperlihatkan pertikaian dan
perdebatan. Hal ini merupakan aspek tertinggi tentang
urgennya kemantapan di dalam aqidah yang benar, yaitu
pemiliknya akan menjadi orang yang yakin dengannya.
Ahlus sunnah memiliki kerelaan dan kepercayaan yang
sempurna terhadap agama dan keyakinan yang mereka pegang. Oleh karena itulah ahlus sunnah, tidak seperti
kelompok lainnya, tidak memerlukan produk yang ada
pada mereka berupa pemikiran dan akal. Sedangkan
pelaku hawa nafsu dan bid’ah, anda dapati mereka
adalah orang yang labil gemar bepindah-pindah dari
pendapat orang yang satu ke orang yang lain, bertanya
dan meminta arahan kepada mereka dalam masalah
agama, karena mereka merasa ragu, tidak mantap dan
tidak tenang.
Adapun Ahlus Sunnah, mereka berada di atas keyakinan
yang sempurna, mereka tidak mau menerima
percekcokan dan perdebatan di dalam aqidahnya.
Mereka merasa mantap dan tenang dengan aqidahnya
dengan kemantapan yang tinggi dan merasa terikat
dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu
‘alaihi wa Sallam. Kitâbullâh, yang tidak datang dari
segala sisi dan tidak pula dari belakangnya kebatilan,
dan sunnah nabi-Nya yang tidaklah diucapkan dari hawa
nafsu, sehingga mereka menjadi tenang dan mantap
dengan ketenangan dan kemantapan yang tinggi
terhadap aqidah yang mereka yakini. Mereka tidak
membutuhkan perdebatan, percekcokan dan sebagainya.
Namun mereka tetap di dalam aqidahnya di atas jalan
dan cara yang satu, semenjak dari generasi awal hingga
akhir, mereka tidak plin-plan dan tidak goyah, tidak labil
dan tidak pula bimbang.
Adapun ahli bathil, maka keadaan mereka berbeda. Allôh
Ta’âlâ berfirman :

﴿ما ضربوه َلك إِلا جدلاً بلْ  هم قَوم خص  مونَ﴾ [الزخرف: 58
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu
melainkan dengan maksud membantah saja, Sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS az-
Zukhruf : 58)
Anda dapati mereka adalah orang yang goyah dan
bimbang, lebih condong kepada pemikiran dan akal
manusia dan banyak melakukan kelabilan di dalam
agama.
Saya nukilkan di dalam pembahasan ini sejumlah atsar
dari para salaf rahimahumullâhu yang sangat besar
manfaatnya :
Abū Hudzaifah berkata kepada Abū Mas’ūd :
” إن الضلالة حق الضلالة، أن تعرف ما كنت تنكر، وتنكر ما كنت تعرف،
.(505/ وإياك والتلون في دين الله، فإن دين الله واح  د ” الإبانة لابن بطة ( 2
“Sesungguhnya kesesatan yang paling sesat adalah,
anda mengakui sesuatu yang anda ingkari dan
mengingkari yang anda akui. Jauhilah sikap labil di
dalam agama, karena agama Allôh itu hanya satu.” (al-
Ibânah karya Ibnu Baththoh II/505).
‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz berkata :
.(503/ ” من جعل دينه غرضًا للخصومات أكثر التنقل ” الإبانة ( 2
“Barangsiapa yang menjadikan agamanya hanya untuk
perdebatan, maka lebih banyak labilnya.”
Beliau rahimahullâhu juga berkata :

“من عمل بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح، ومن لم يعد كلامه من
عمله كثرت خطاياه، ومن كثرت خصومته لم يزل يتنقل من دين إلى دين”
.(504/ الإبانة ( 2
“Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka ia akan
lebih banyak merusak daripada membenahi. Dan
barangsiapa tidak memperhitungkan perkataannya
sebagai amalnya, maka akan berlimpah dosa-dosanya.
Serta barangsiapa yang banyak berdebat, ia akan
senantiasa bersifat labil berpindah-pindah dari satu
agama ke agama lainnya.” (al-Ibânah II/504).
Mi’an bin Isâ berkata :
” انصرف مال  ك يوماً من المسجد وهو متك ٌ ئ على يدي، فلحقه رج ٌ ل يقال له
أبو الجويرية – كان يتهم بالإرجاء – فقال: يا أبا عبد الله اسمع مني شيئاً
ُأكلمك به وأحاجك وأُخ  برك برأيي، قال: فإن غلبتني؟ قال: فإن غلبتك
اتبعتني، قال: فإن جاء رج ٌ ل آخر فكلمنا فغلبنا؟ قال: نتبعه، قال مالك: يا عبد
بدين واحد، وأراك تتنقل من دين إلى دين “. الإبانة  الله، بعث الله محمداً
.(508/2)
“Pada suatu hari, Mâlik berangkat ke Masjid sedangkan
beliau dalam keadaan bersandar pada tanganku.
Kemudian, seorang pria yang disebut dengan Abūl
Juwairiyah menemui beliau dan dia adalah seorang yang
tertuduh irjâ`, lalu ia berkata : “Wahai Abâ ‘Abdillâh (Imâm Mâlik), dengarkanlah sesuatu dariku, aku akan
bicara kepada anda, berargumentasi dan menceritakan
pemikiranku.” Imâm Malik bertanya, “Apabila engkau
dapat mengalahkanku?”, dia menjawab, “Jika aku dapat
mengalahkan anda maka anda harus mengikutiku.”
Imâm Mâlik bertanya kembali : “Apabila ada orang lain
yang berbicara kepada kita lalu mengalahkan kita?”, ia
menjawab, “kita ikuti dia.” Lantas Imâm Mâlik berkata :
“Wahai hamba Allôh, Allôh telah mengutus Muhammad
Shallâllâhu ‘alaihi was Sallam dengan agama yang satu.
Sedangkan aku melihatmu adalah orang yang labil
berpindah dari satu agama ke agama lain.”
Perkara agama ini menjadi perkara yang labil menurut
mereka berpindah-pindah dari orang yang satu ke orang
lain dan dari pemikiran yang satu ke pemikiran lainya.
Dan inilah makna ucapan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz yang
telah lewat sebelumnya, “Barangsiapa yang menjadikan
agamanya hanya untuk perdebatan, maka lebih banyak
labilnya.”
Mâlik berkata :
: ” كان ذلك الرجل (. يشير إلى أحد أئمة السلف لم يسمه.) إذا جاءه بعض هؤلاء
أصحاب الأهواء قال: أما أنا فعلى بينة من ربي، وأما أنت فشا  ك، فاذهب إلى
شاك مثلك فخاصمه، قال مالك: وقال ذلك الرجل: يلبسون على أنفسهم ثم
..(509/ يطلبون من يعرفهم ” الإبانة ( 2
“Adalah orang tersebut (beliau mengisyaratkan kepada
salah satu imam salaf tanpa menyebut namanya), apabila datang kepadanya sebagian orang pelaku hawa
nafsu, beliau berkata : “Adapun saya, maka saya berada
di atas keterangan dari Tuhanku, sedangkan anda dalam
keadaan ragu dan mendatangi orang yang juga ragu
seperti anda lalu anda debat.” Imâm Mâlik melanjutkan :
“Imam tersebut berkata : mereka merasa bingung
dengan keadaan mereka sendiri kemudian meminta
tolong kepada orang yang mengetahui mereka.” (al-
Ibânah II/509).
Yaitu (orang yang mengetahui) agama mereka. Merasa
rancu dengan keadaan mereka yaitu dengan keraguan
dan dugaan para pelaku hawa nafsu dan sebagainya.
Kemudian mereka memohon kepada orang yang
mengetahui agama mereka, yang akan menghilangkan
keragu-raguan yang menyelimuti mereka, namun
mereka datangkan dari pendapat dan hawa nafsu akal
seseorang.
Ishâq bin Isâ ath-Thobâ’ berkata :
” كان مالك بن أنس يعي  ب الجدال في الدين ويقول: كلما جاءنا رج ٌ ل أجدل
.(507/ الإبانة ( 2 ”  من رجل أردنا أن نرد ما جاء به جبريل إلى النبي
“Mâlik bin Anas adalah orang yang mencela perdebatan
di dalam agama, beliau berkata, “Tiap kali datang
kepada kami seseorang yang gemar berdebat dengan
orang lain. Kami berkeinginan membantah dengan apa
yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Shallâllâhu ‘alaihi
wa Sallam.” (al-Ibânah II/507).
Hasan al-Bashrî berkata :

” رأ  س مال المؤمن دينه، حيثما زال زال دينه معه، لا يخلفه في الرجال ولا
.(509/ يأتمن عليه الرجال ” الإبانة ( 2
“Perbendahaaran harta paling bernilai seorang mukmin
adalah agamanya. Apabila hartanya ini hilang, maka
hilanglah agamanya besertanya. Ia tidak akan mau
meninggalkannya untuk orang lain dan tidak pula
mempercayakannya.” (al-Ibânah II/509)
Beginilah keadaan ahlus sunnah, tidak ada seorangpun
dari mereka yang menyandarkan agama dan aqidahnya
kepada akal, hawa nafsu dan pemikiran manusia. Mereka
hanya berpegang erat dengan Kitâbullâh dan Sunnah
Nabî-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, menurut
timbangan pemahaman salaful ummah.
Dzakwân berkata :
” كان الحسن البصري ينهى عن الخصومات في الدين، وقال إنما يخاصم
.(519/ الشا  ك في دينه ” الإبانة ( 2
“Hasan al-Bashrî melarang perdebatan di dalam agama,
beliau mengatakan bahwa berdebat itu kerjanya orang
yang ragu dengan agamanya.” {al-Ibânah II/519).
Adapun orang yang tidak memiliki keraguan di dalam
agamanya, maka ia tidak butuh sedikitpun dengan
berbagai bentuk perdebatan.
Hisyâm bin Hasan berkata :

” جاء رج ٌ ل إلى الحسن البصري، فقال: يا أبا سعيد تعالى حتى ُأخاصمك في
الدين، فقال الحسن: أما أنا فقد أبصر  ت ديني، فإن كنت أضللت دينك
..(509/ فالتمسه ” الإبانة ( 2
“Seseorang mendatangi Hasan al-Bashrî lalu berkata,
‘Wahai Abâ Sa’îd, kemarilah, saya ingin berdiskusi (baca
: berdebat) dengan anda tentang masalah agama.’
Hasan al-Bashrî berkata, “Aku adalah orang yang jelas
agamaku, sedangkan anda adalah orang yang sesat
agamanya sehingga menjadi kabur.”
Maksudnya adalah, pergilah dan carilah agamamu.
Adapun saya adalah orang yang mantap dengan
agamaku, tenang dan mengenalnya. Jadi, aku tidak
butuh dengan pedebatan dan percekcokan.
Ahmad bin Sinân berkata :
” جاء أبو بكر الأصم إلى عبد الرحمن بن مهدي فقال: جئ  ت أناظرك في
الدين، فقال: إن شككت في شيءٍ من أمر دينك فقف حتى أخرج إلى
.(538/ الصلاة، وإلا فاذهب إلى عملك، فمضى ولم يثبت ” الإبانة ( 2
“Abū Bakr al-Ashom mendatangi ‘Abdurrahman bin
Mahdî lalu berkata, ‘Saya datang untuk berdiskusi
dengan anda tentang masalah agama.’ Ibnu Mahdî
menjawab, ‘Jika engkau merasa ragu dengan sesuatu
dari agamamu, berhentilah sampai aku keluar untuk
untuk sholât, apabila tidak, kembalilah bekerja’, lalu orang tersebut berlalu dan tidak mau menetap.” (al-
Ibânah II/538)
Di dalam kisah di atas, menunjukkan bahwa ahlus
sunnah menyibukkan diri dengan kebenaran yang
mereka pegang, dengan beribadah kepada Allôh
Tabâroka wa Ta’âlâ. Ibnu Mahdî berkata kepada Abū
Bakr al-Ashom, ‘Jika kamu merasa ragu dengan sesuatu
dari agamamu berhentilah sampai aku keluar untuk
untuk sholât’, maksudnya adalah, ‘Saya terlalu sibuk
dengan ketaatan kepada Allôh, saya mau sholat dulu,
berhentilah (di situ) sampai aku keluar untuk sholât dan
aku tidak punya urusan denganmu. Jika kau tidak mau
kembalilah ke pekerjaanmu. Kemudian orang itu berlalu
dan tidak mau menetap.”
Demikianlah sejumlah nukilan yang bermanfaat yang aku
nukil dari kitab al-Ibânah karya Ibnu Baththah al-‘Ukburî
rahimahullâhu. Buku ini adalah buku yang agung di
dalam pembahasan ini, dan kesemua nukilan dari ulama
salaf rahimahullâhu ini menjelaskan akan mantapnya
agama mereka, stabilnya jiwa mereka dan kuatnya
penjagaan dan perhatian mereka terhadap agama.
Mereka tidak menyandarkan agamanya kepada
perdebatan dan percekcokan, atau pemikiran yang
menyimpang dan lain sebagainya. Hal inilah yang
menjadikan faktor utama mantapnya mereka terhadap
kebenaran.

Kesepuluh

Kesepuluh : Hubungan mereka yang baik kepada Allôh,
kuatnya ikatan mereka kepada-Nya dan bersandarnya
mereka hanya kepada-Nya. Hal ini adalah perkara yang
telah saya tunjukkan di dalam pembuka di awal. Oleh karena taufîq itu mutlak berada di tangan-Nya
Subhânahu wa Ta’âlâ, maka mereka membaguskan
hubungan mereka dengan Allôh, memperkuat
bersandarnya mereka kepada-Nya, meminta hanya
kepada-Nya, memohon pertolongan dan berdoa hanya
kepada-Nya, serta meminta kepada-Nya kemantapan.
Mereka mencontoh hal ini dari jalan nabi mereka
Sholawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi.
Termasuk doa nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam adalah :
َاللَّهم ِإنيِّ َأسأَُلك ا ُ لهدى والسداد
“Ya Allôh, aku memohon kepada-Mu petunjuk dan
arahan yang benar”
Beliau juga pernah berdoa :
َاللَّهم ِإنيِّ َأسأَُلك ا ُ لهدى والتقَى والعفَاف والغنى
”Ya Allôh, aku meminta kepada-Mu petunjuk, ketakwaan,
kesucian dan kecukupan.”
Beliau juga pernah berdoa :
َاللَّهم آت نفُوسنا تقْواها، زكِّها َأنت خير من زكَّاها، َأنت وليها
ومولاَها
”Ya Allôh anugerahkan kepada jiwa kami ketakwaannya,
sucikan jiwa kami karena Engkau adalah sebaik-baik
yang mensucikan jiwa kami, Engkaulah yang menguasai
jiwa kami dan mengaturnya.”
Beliau juga berdoa :

َاللَّهم َأصلح لي دينِي الَّذي هو عصمةُ َأمرِي، وَأصلح لي دنياي الَّتي
فيها معاشي، وَأصلح لي آخرتي الَّتي فيها معادي، واجعلِ الحَياة زِيادةً
لي في كُلِّ خيرٍ، واجعلِ المَوت راحةً لي من كُلِّ شر
”Ya Allôh perbaikilah agamaku yang mana ia merupakan
pelindung urusanku, perbaikilah duniaku yang
merupakan tempat pencaharianku, perbaikilah akhiratku
yang merupakan tempatku kembaliku, jadikanlah
kehidupan sebagai tambahan bagiku di dalam segala
kebaikan dan jadikanlah kematian sebagai tempat
istirahat bagiku dari segala keburukan.”
Nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam juga berdoa :
َاللَّهم رب جِبرائيلَ، وميكَائيلَ، وِإسرافيلَ فَاطر السماوات وْالأَرضِ،
عالم الْغيبِ وال  شهادة، أَنت تح ُ ك  م بين عبادك فيما كَانوا فيه
يختلفُونَ. اهدِني لما اختلف فيه من الْحق ِبإِذِْنك تهدي من تشاءُ ِإَلى
صراط مستقيمٍ.
“Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta
langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang
ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuh-kan hukum
(untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang
kristen dan yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku
pada kebenaran apa yang diper-tentangkan dengan seizin dariMu. Se-sungguhnya Engkau menunjukkan
pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau
kehendaki”
Beliau juga berdoa “
َاللَّهم َلك َأسلَم  ت، وِبك آمنتُ، وعلَيك توكَّلْت، وِإَليك َأنب  ت، وِبك
خاصمت، اَللَّ  ه  م ِإِّني َأعُوذُ ِبعزتك، لاَ ِإَله ِإلاَّ َأنت َأنْ تضلَّنِي، َأنت
الحَي الَّذي لاَ يموت، والجن والإِنس يموتونَ
“Ya Allôh, hanya kepada-Mu-lah aku berserah diri,
kepada-Mu-lah aku beriman dan kepada-Mu-lah aku
bertawakkal. Hanya kepada-Mu aku bertawakkal dan
kepada-Mu lah aku kembali serta dengan-Mu aku
berdebat (dengan orang kafir). Ya Allôh, aku memohon
perlindungan dengan keperkasaan-Mu, yang tiada
sesembahan yang haq untuk disembah melainkan
Engkau, dari ketergelinciran. Engkau adalah dzat yang
maha hidup tidak pernah mati, sedangkan manusia dan
jin pasti akan binasa.”
Beliau juga pernah berdoa :
َاللَّهم يا مقَلّب القُلُوب، َثبِّت قَلْبِي علَى دينِك
“Ya Allôh, yang maha membolak-balikkan hati.
Mantapkan hati kami di atas agama-Mu.”
Beliau juga berdoa :
اَللَّ  ه  م اهدنِا فيمن هديت

“Ya Allôh, berikanlah kami pertunjuk sebagaimana orang
yang telah Engkau beri petunjuk.”
Beliau juga pernah berdoa :
اَللَّ  ه  م زينا بِزِينة اْلإِيمان واجعلْنا  هداةً مهتدين.
“Ya Allôh hiasilah kami dengan perhiasan keimanan dan
jadikanlah kami orang yang memberikan petunjuk lagi
mendapatkan petunjuk.”
[Semua doa di atas diriwayatkan oleh Muslim di dalam
Shahîh-nya kecuali tiga doa terakhir. Yang pertama dan
kedua diriwayatkan Ahmad (/301) dan (1/200) dan
ketiga diriwayatkan an-Nasâ`î (no. 1305).
Para pengikut nabi Sholawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi
berpegang teguh dengan manhaj beliau, mereka
senantiasa menambatkan (hati mereka) dengan Allôh
Tabâroka wa Ta’âlâ di setiap waktu dan kapan saja.
Mereka meminta kepada Allôh kemantapan, bimbingan,
pertolongan dan taufiq, oleh karena itulah Allôh
memberikan taufiq-Nya kepada mereka, menolong dan
membimbing mereka, memelihara dan menjaga mereka
dengan pemeliharaan dan pertolongan-Nya. Penjagaan
dan taufiq Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ hanyalah mutlak
berada di tangan-Nya semata.
Kemudian, sesungguhnya ikatan mereka kepada Allôh
Tabâroka wa Ta’âlâ mewariskan kepada mereka, ibadah
yang benar dan perangai serta akhlâq yang lurus. Oleh
karena itulah, sesungguhnya diantara faidah aqidah yang
terpuji dan pengaruhnya yang agung, ia akan terpancar
di dalam perbuatan dan perangai seorang manusia, semakin kuat, tinggi, tumbuh berkembang dan semakin
suci. Dan ini merupakan berkahnya aqidah yang benar
dan termasuk manfaat serta faidahnya yang besar.
Adapun aqidah yang menyimpang, maka ia merupakan
kecelakaan bagi pemiliknya. Oleh karena itulah,
rusaknya aqidah berakibat kepada rusaknya perbuatan
dan perangai, dan hal ini tentu saja merupakan
keyakinan yang mencelakakan. Barangsiapa yang
meneliti terutama terhadap para pembesar kebatilah dan
penyeru kesesatan, ia akan mendapatkan ciri ini secara
nyata dan jelas pada mereka. Tidak tampak pada
mereka perhatian, kepedulian dan penjagaan kepada
ibadah. Tidak tampak pula pada mereka perangai yang
terang, sempurna lagi jelas. Sekiranya ia mendapatkan
sedikit dari hal dari hal-hal ini, maka yang ada pada
ahlus sunnah, berupa kebenaran dan keistiqomahan
terhadapnya, lebih besar dan jauh lebih besar.
Dan ini merupakan pengaruh istiqomah di atas aqidah
(yang benar) dan menambatkan (hati mereka) kepada
Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ.

Kesembilan

Kesembilan : Termasuk diantara faktor-faktor yang
menyebabkan mantapnya mereka di atas al-Haq dan
selamat dari penyimpangan dan perubahan adalah,
mereka tidak mendahulukan akal dan perasaan mereka
melebihi al-Kitâb dan as-Sunnah. Hal ini juga telah lewat
penunjukan salah satu aspek tentangnya sebelumnya,
dan saya akan nukilkan di sini ucapan Abî Muzhoffar as-
Sam’ânî yang dinukil dari at-Taimî di dalam kitabnya “al-
Hujjah” dan Ibnul Qoyyim di dalam kitabnya “ash-
Showâ’iq”, dan ucapan beliau ini adalah ucapan yang
agung lagi kokoh di dalam bab ini. As-Sam’ânî berkata :

” وكان السب  ب في اتفاق أهل الحديث أم أخذوا الدين من الكتاب
والسنة وطريق النقل، فأورثهم الاتفاق والإتلاف، وأهل البدع أخذوا
الدين من عقولهم، فأورثها التفرق والاختلاف، فإن النقل والرواية من
الثقات والمتقنين قل ما تختلف، وإن اختلفت في لفظة أو كلمة فذلك
الاختلاف لا ي  ضر في الدين، ولا يقد  ح فيه، وأما المعقولات والخواطر
والآراء فقل ما تتفق، بل عق ُ ل كل واحد أو رأيه وخاطره يري صاحبه
..( غير ما يرى الآخر ” مختصر الصواعق (ص 518
“Dan merupakan sebab bersatunya ahli hadits adalah,
mereka mengambil agama dari al-Kitâb dan as-Sunnah
serta jalur naql (penukilan riwayat) sehingga mereka
mewarisi persatuan dan kesepakatan. Adapun ahli
bid’ah, mereka mengambil agama mereka dari akal-akal
mereka sehingga mereka mewarisi perpecahan dan
perselisihan. Karena sesungguhnya, naql (penukilan) dan
riwayat dari orang-orang yang tsiqât (kredibel) dan
mutqîn (mantap hapalan dan ilmunya) sedikit sekali
perselisihannya, walaupun lafazh dan kalimatnya
berbeda-beda namun perbedaan ini tidaklah mencederai
dan mencacat di dalam agama. Adapun produk akal,
pemikiran dan pendapat maka sedikit sekali yang saling
bersepakat, bahkan akal setiap orang atau pemikiran
dan pendapatnya, difahami oleh orang yang berpendapat tersebut tidak sebagaimana yang difahami oleh orang
selainnya.” (Mukhtashor ash-Showâ’iq hal. 518).
Maka inilah diantara faktor-faktor tsabât (mantapnya)
mereka, yaitu tidak mendahulukan akal, pendapat,
perasaan dan semisalnya, melebihi Kitâb Rabb mereka
dan sunnah nabi mereka Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.
Adapun ahli hawa (pengikut hawa nafsu), mereka lebih
mendahulukan perkara-perkara ini di atas Kitâbullah dan
Sunnah Rasūlullâh. Diantara mereka ada yang lebih
mendahulukan akal, ada yang lebih mendahulukan
pemikiran, ada yang lebih mendahulukan perasaan, ada
yang lebih mendahulukan dongeng-dongeng dan mimpi,
dan adapula yang lebih mendahulukan hawa nafsunya di
atas perintah Rabb-Nya Tabâroka wa Ta’âlâ, saling
berlainan dan setiap orang memiliki manhaj, metode dan
jalannya masing-masing. Adapun ahlus sunnah, mereka
terbebas dari semua penyakut-penyakit ini, dan mereka
menetapi Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya Sholawâtullâhi
wa Salâmuhu ‘alaihi. Dan hal ini merupakan faktor
terbesar diantara faktor-faktor mantapnya mereka.
Barangsiapa yang menimba dari sumber air pertama dan
mata air yang murni, niscaya ia akan mendapatkan
selain dari pada itu semua adalah sumber-sumber air
yang telah keruh.

Kedelapan

Kedelapan : Termasuk faktor-faktor mantapnya ahlus
sunnah di atas kebenaran dan konsisten di atasnya
adalah : sikap mereka rahimamullâhu yang wasath
(moderat) dan i’tidâl (sikap pertengahan), sebagaimana
firman Allôh Ta’âlâ :
[ ﴿وكَذَلك جعلْناكُم ُأمةً وسطاً﴾ [البقرة: 143
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu
(umat Islam) sebagai umat yang wasath (moderat).” (QS
al-Baqoroh : 143), yaitu sebagai saksi yang adil. Mereka
bersikap moderat tidak bersikap ghuluw (ekstrem) dan
tidak jafâ` (sikap menyepelekan), tidak ifrâth (sikap
berlebih-lebihan) dan tidak pula tafrîth (sikap
meremehkan), serta tidak menambah-nambahi dan tidak
mengurangi. Bentuk sikap wasath mereka adalah dengan
berpegangteguhnya mereka terhadap kebenaran, konsisten dan mantap di atasnya serta menjauhi semua
jalan yang menyimpang, tidak ada bedanya baik yang
condong kepada sikap ghuluw ataupun jafâ`. Mereka
senantiasa bersikap wasath di dalam kebenaran dan
konsisten di atasnya, mereka kokoh di atasnya dengan
pengokohan Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ bagi mereka.
Inilah faktor utama dari faktor-faktor yang menyebabkan
mantapnya mereka di atas kebenaran. Sebaik-baik
perkara adalah yang pertengahan, tanpa diiringi sikap
tafrîth dan tidak pula ifrâth. Setiap kali seseorang
bersikap wasath dan i’tidâl, maka ia adalah orang yang
paling layak dan paling utama dengan kebenaran.
‘Alî bin Abî Thâlib radhiyallâhu ‘anhu berkata :
” إن دين الله بين الغالي والمقصر، فعليكم بالنمرقة الوسطى؛ فإن ا يحلق
المقصر، وإليها يرجع الغالي “.
“Sesungguhnya agama Allôh itu berada diantara sifat
berlebihan dan sifat kurang, maka wajib atas kalian
untuk bersandar kepada sandaran yang pertengahan,
karena dengan bersandar padanya akan memangkas
sifat yang kurang dan kepadanya akan berpulang sifat
berlebihan.”
Sikap wasath itu tidak akan bisa diperoleh selamanya
melainkan dengan berpegang teguh terhadap kebenaran
(al-Haq) tanpa menambah-nambahi atau mengurangingurangi.
Barangsiapa bersikap demikian maka ia adalah
orang yang lebih utama dengan kebenaran dan orang
yang paling jauh dari penyimpangan serta paling berhak dengan kemantapan dan keselamatan. Oleh karena
itulah Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
القصد القصد تبلغوا
“bersederhanalah, bersederhanalah, niscaya kalian akan
mendapatkan” (HR Buhârî no. 6463)
Dan sabda beliau ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm :
عليكم هدياً قاصداً، فإنه من يشاد الدين يغلبه
“Berpegangteguhlah dengan petunjuk yang pertengahan,
karena sesungguhnya orang yang bersikap keras di
dalam agama akan didominasi (dikalahkan) oleh
agamanya.” (HR Ahmad 5/350-31, dishahîhkan oleh al-
Albânî di dalam Shahîhul Jâmi’ no. 4086).
Ibnul Qoyyim rahimahullâhu berkata :
” فدي  ن الله بين الغالي فيه والجافي عنه، وخير الناس النمط الأوسط، الذين
ارتفعوا عن تقصير المفرطين، ولم يلحقوا بغلو المعتدين، وقد جعل الله
سبحانه هذه الأمة وسطاً، وهي الخيار العدل، لتوسطها بين الطرفين
المذمومين، والعدل هو الوسط بين طرفي الجور والتفريط، والآفات إنما
تتطرق إلى الأطراف والأوساط محميٌة بأطرافها فخيار الأمور أوساطها ”
..(201/ إغاثة اللهفان ( 1
“Agama Allôh itu berada di antara orang yang
berlebihan dan orang yang mengabaikan dan sebaik-baik manusia adalah kelompok yang pertengahan, mereka
meninggikan dari peremehan orang-orang yang tafrîth
(suka mengabaikan) dan tidak menambahkan dari sikap
ghuluw-nya orang-orang yang melampaui batas. Allôh
Subhânahu wa Ta’âlâ menjadikan umat ini (umat Islâm)
sebagai umat pertengahan dan mereka adalah umat
terbaik yang adil, oleh sebab sikap tawassuth
(pertengahan) mereka di antara dua golongan yang
tercela. Sikap adil adalah sikap pertengahan di antara
dua golongan yang bersikap lalim (berlebihan) dan
tafrîth. Segala hal yang merusak sesungguhnya
menembus segala sisi dan yang paling pertengahan
adalah yang terjaga pada segala sisinya, dan sebaik-baik
perkara adalah yang paling pertengahan.” (Ighôtsatul
Lahafân I/201).

Ketujuh

Ketujuh : Termasuk faktor mantapnya mereka di atas
keyakinan yang haq adalah, mereka mengikatkan diri
dengan pemahaman as-Salaf ash-Shâlih, para sahabat
dan yang mengikuti mereka dengan lebih baik. Mereka
disertai dengan perkara-perkara (yang disebutkan)
sebelumnya, menyandarkan diri di dalam memahami
nash (teks dalil) dan pengetahuan akan dilâlah
(penunjukan)-nya kepada pemahaman sahabat dan
generasi yang mengikuti mereka dengan lebih baik.
Karena pemahanan itu terkadang sebagiannya
doyong/miring dan sebagiannya lagi menyeleweng. Akan
tetapi orang yang mengambil agamanya yang murni lagi segar dari Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam secara
langsung dengan disertai dengan hati yang bersih, akal
yang sehat dan keinginan serta tujuan yang baik,
barangsiapa yang demikian ini keadaannya maka ia
memperoleh ilmu, keselamatan dan hikmah yang sejati.
Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamâ’ah berpegang
erat di dalam memahami nash-nash dan dalil dengan
pemahaman sahabat. As-Sijzî rahimahullâhu berkata di
dalam buku beliau yang berjudul Ar-Roddu ‘ala Man
Ankaro al-Harf wa ash-Shout di dalam mensifati ahlus
sunnah sebagai berikut :
هم الثابتون على اعتقاد ما نقله إليهم السلف الصالح رحمهم الله عن
أو عن أصحابه رضي الله عنهم فيما لم يثبت فيه ن  ص في ، الرسول
لأم رضي الله عنهم أئمة، وقد ُأمرنا ؛ الكتاب ولا عن الرسول
بإقتداء آثارهم واتباع سنتهم، وهذا أظهر من أن يحتاج فيه إلى إقامة
برهان، والأخذ بالسنة واعتقادها مما لا مرية في وجوبه ” الرد على من أنكر
.( الحرف والصوت (ص: 99
“Mereka adalah kaum yang mantap di atas aqidah yang
para as-Salaf ash-Shâlih rahimahumullâhu menukilkan
kepada mereka dari Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam atau dari sahabat beliau radhiyallâhu ‘anhum
mengenai perkara-perkara yang tidak disebutkan oleh
nash al-Qur`ân dan (sunnah) Rasūl Shallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam. Mereka adalah para imâm yang Allôh ridhâ kepada mereka, dan kita diperintahkan untuk mengikuti
jejak (atsar) mereka dan meneladani tuntunan (sunnah)
mereka. Hal ini memperlihatkan dengan jelas akan
diperlukannya iqômatu burhân (menegakkan hujjah yang
terang), mengambil sunnah dan berkeyakinan
dengannya, merupakan sesuatu hal yang tidak ada
kebimbangan akan kewajibannya.” (Ar-Roddu ‘ala Man
Ankaro al-Harf wa ash-Shout hal. 99)
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata:
ولا تج  د إماماً في العلم والدين، كمالك والأوزاعي والثوري وأبي حنيفة
والشافعي وأحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه، ومثل الفضيل وأبي
سليمان ومعروف الكرخي وأمثالهم، إلا وهم مصرحون بأن أفضل
علمهم ما كانوا فيه مقتدين بعلم الصحابة، وأفضل عملهم ما كانوا فيه
مقتدين بعمل الصحابة، وهم يرون أن الصحابة فوقهم في جميع أبواب
.( الفضائل والمناقب ” شرح العقيدة الأصفهانية (ص: 128
“Anda tidak akan mendapatkan seorang imam pun di
dalam ilmu dan agama, sebagaimana Mâlik, al-Auzâ’î,
ats-Tsaurî, Abî Hanîfah, asy-Syâfi’î, Ahmad bin Hanbal
dan Ishâq bin Rohawaih, atau semisal al-Fudhail dan Abu
Mâlik atau yang lebih dikenal dengan al-Kurkhî, atau
yang semisal mereka, melainkan mereka menjelaskan
dengan tegas bahwa seutama-utama ilmu dan amal
mereka adalah yang meniti ilmu dan amal para sahabat, mereka beranggapan bahwa para sahabat adalah kaum
yang berada terdepan di atas mereka di segala bab
keutamaan dan kemuliaan.” (Syarhul Aqîdah al-
Ashfahânîyah hal. 128).
Al-Ajurrî rahimahullâhu berkata di dalam kitab beliau
“Asy-Syarî’ah” :
” علامُة من أراد الله عز وجل به خيراً سلوك هذه الطريق، كتاب الله عز
وسنن أصحابه رضي الله عنهم ومن تبعهم ، وجل وسنن رسوله
بإحسان رحمة الله تعالى عليهم، وما كان عليه أئمة المسلمين في كل بلد،
إلى آخر ما كان من العلماء؛ مثل الأوزاعي وسفيان الثوري ومالك بن
أنس والشافعي وأحمد بن حنبل والقاسم بن سلام، ومن كان على مثل
طريقتهم، ومجانبة كل مذهبٍ لا يذهب إليه هؤلاء العلماء ” الشريعة
.(301/1)
“Tanda-tanda orang yang Allôh Azza wa Jalla kehendaki
kebaikan baginya adalah, orang yang meniti di atas jalan
Kitâbullâh Azza wa Jalla dan sunnah Rasūl-Nya
Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sunnah para sahabat beliau
radhiyallâhu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan lebih baik rahmatullâhi Ta’âlâ ‘alaihim,
juga (meniti) jalan yang dilalui oleh para imam kaum
muslimin di seluruh negeri sampai generasi akhir para
ulama, semisal al-Auzâ’î, Sufyân ats-Tsaurî, Mâlik bin
Anas, asy-Syâfi’î, Ahmad bin Hanbal, al-Qâsim bin Sallâm, dan siapa saja yang berada di atas metode
mereka dan menjauhi setiap madzhab yang tidak
bermadzhab dengan para ulama tersebut.” (asy-Syarî’ah
I:301).
Ibnu Qutaibah rahimahullâhu berkata dengan sebuah
perkataan yang anggun di dalam bab ini :
” ولو أردنا – رحمك الله – أن ننتقل عن أصحاب الحديث، ونرغب
عنهم إلى أصحاب الكلام، ونرغب فيهم؛ لخرجنا من اجتماعٍ إلى تشتت،
وعن نظام إلى تفرق، وعن ُأنسٍ إلى وحشة، وعن اتفاق إلى اختلاف ”
.( تأويل مختلف الحديث (ص: 16
“Sekiranya kita menghendaki –semoga Allôh merahmati
anda- beranjak dari (manhaj) ahli hadîts dan berpaling
dari mereka menuju (manhaj) ahli kalâm dan mencintai
mereka, niscaya kita pasti akan keluar dari persatuan
menuju perselisihan, dari keteraturan menuju
perpecahan, dari kebahagiaan menuju kesengsaraan dan
dari kesepakatan menuju pertikaian.” (Ta’wîl Mukhtalafil
Hadîts hal. 16).
Hal ini menjelaskan bahwa tidak mungkin kemantapan
akan diperoleh melainkan dengan berpegang secara
sempurna terhadap faham as-Salaf ash-Shâlih
rahimahumullâhu, Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ berfirman :

﴿ومن يشاققِ ال  ر  سولَ من بعد ما تبين لَه الْ  ه  دى ويتبِع غَير سبِيلِ
الْ  مؤمنِين نولِّه ما تولَّى ونصله جهنم وساءت مصيرًا﴾ [النساء:
.[115
“Dan barangsiapa yang menentang Rasūl sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisâ1 : 115).

Keenam

Keenam : diantara faktor yang memantapkan dan
selamatnya aqidah di dalam jiwa ahlus sunnah adalah,
bahwa jiwa ahlus sunnah merasa begitu tenang dengan
aqidah ini. Setiap orang dari mereka merasakan
kedamaian di dalam hatinya, ketenangan di dalam
jiwanya, kesenangan dan kebahagiaan, bahkan juga
kegembiraan dan kelezatan dengan aqidah yang haq ini,
yang Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ anugerahkan kepadanya.
Hal ini tidak akan dapat ditemukan pada seorang
pengikut hawa nafsu dan amatlah jauh dirinya. Allôh
Tabâroka wa Ta’âlâ berfirman :

﴿الَّذين آمنواْ وتطْمئن قُلُوبهم ِبذكْرِ اللّه َألاَ ِبذكْرِ اللّه تطْمئن
.[ الْقُلُوب﴾ [الرعد: 28
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.” (QS ar-Ra’du : 28)
Di dalam jiwa mereka terdapat ketenangan yang
sempurna dan kedamaian yang besar terhadap aqidah
yang benar ini, yang mereka peroleh dari Kitab Rabb
mereka dan sunnah Nabi mereka Shallâllâhu ‘alaihi wa
Sallam. Berkenaan hal ini, Ibnul Qoyyim rahimahullâhu
berkata di dalam kitabnya ash-Showâ’iqul Mursalah :
” سكو ُ ن القلب إلى شيء ووُثوقه به، وهذا لا يكون إلا مع اليقين، بل
هو اليق  ين بعينه، ولهذا تجد قلوب أصحاب الأدلة السمعية – يعني أهل
السنة – مطمئنة بالإيمان بالله وأسمائه وصفاته وأفعاله وملائكته واليوم
الآخر، لا يضطربون في ذلك ولا يتنازعون فيه “. الصواعق المرسلة
.(741/2)
“Tetap dan mantapnya hati terhadap sesuatu, hal ini
tidaklah akan terjadi melainkan disertai dengan
keyakinan, bahkan dengan benar-benar yakin (‘ainul
yaqîn). Karena itulah anda dapati hatinya ahlus sunnah,
merasa tenang dengan iman kepada Allôh, Asmâ` dan Shifât-Nya, serta perbuatan-Nya, kepada malaikat-Nya
dan hari akhir. Tidak goyah ketenangan mereka di dalam
keimanan ini dan tidak pula bimbang.” (Ash-Showâ’iqul
Mursalah II/741)
Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata:
” وأما أهل السنة والحديث فما يعلم أح  د من علمائهم ولا صالح عامتهم
رجع ق ُ ط عن قوله واعتقاده، بل هم أعظم الناس صبراً على ذلك، وإن
امتحنوا بأنواع المحن، وُفتنوا بأنواع الفتن، وهذه حال الأنبياء وأتباعهم
.(50/ من المتقدمين ” مجموع الفتاوى ( 4
“Adapun ahlus sunnah dan ahli hadits, tidak ada
seorangpun ulama atau orang awam mereka yang shalih,
yang diketahui menarik kembali pendapat dan aqidahnya
sama sekali. Bahkan mereka adalah manusia yang paling
sabar dengan pendapat dan aqidahnya, walaupun
mereka diuji dengan berbagai ujian dan fitnah. Dan
demikian inilah keadaan para nabi dan para pengikut
mereka terdahulu.”
‘Abdul Haq al-Isybîlî rahimahullâhu berkata :
” واعلم أن سوء الخاتمة أعاذنا الله تعالى منها لا تكون لمن استقام ظاهره
وصلح باطنه، ما سمع ذا، ولا  علم به ولله الحمد، وإنما تكون لمن له
فساد في العقد، أو إصرارٍ على الكبائر، وإقدام على العظائم ” نقله ابن القيم
.( في الجواب الكافي (ص: 198

“Ketahuilah, bahwasanya sū’ul khâtimah –semoga Allôh
Ta’âlâ melindungi kita darinya- tidak pernah didengar
dan diketahui terjadi pada orang-orang yang lurus
zhahirnya dan baik bathinnya, dan hanya milik Allôhlah
segala pujian. Sesungguhnya ia hanya terjadi kepada
orang yang memiliki aqidah yang rusak, terus menerus
di dalam dosa besar, dan mendahulukan keangkuhan.”
(Dicuplik oleh Ibnul Qoyyim di dalam al-Jawâbul Kâfî hal.
198).
Inilah diantara faktor utama yang dapat menghantarkan
kepada mantapnya ahli kebenaran, jiwa dan hati mereka
merasa tenang terhadap kebenaran, serta merasa enjoy
secara sempurna dengannya. Lantas mengapa mereka
menyeleweng darinya? Mengapa mereka masih mencari
selainnya padahal mereka merasa tenang dan enjoy
dengan sebenar-benarnya terhadapnya?

Untuk yang Sehati

Bercita-cita mengamalkan Islam secara utuh adalah suatu hal yang wajib bagi setiap muslim....
Namun bila belum mampu seluruhnya, jangan ditinggalkan semuanya....Karena Alloh Subhanahu wata'ala tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuan maksimal yang dimiliki...

Buat diriku & dirimu

....Jangan pernah merasa cukup untuk belajar Islam, karena semakin kita tahu tentang Islam, semakin kita tahu tentang diri kita (...seberapa besar iman kita, ...seberapa banyak amal kita,....seberapa dalam ilmu kita, dan sebaliknya...seberapa besar kemunafikan kita, ...seberapa banyak maksiat kita, ...seberapa jauh kedunguan kita)
....Barangsiapa mengenal dirinya, maka semakin takut ia kepada Alloh Subhaanahu wata'ala

Do’a kita

Semoga Alloh Subhaanahu wata'ala meneguhkan hati kita dalam Islam hingga maut menjemput kita,...aamiin

Kalender

November 2009
S M S S R K J
 123456
78910111213
14151617181920
21222324252627
282930  

Total Pengunjung

  • 243.502 klik